Shalat Dhuha: Sunah Atau Bid’ah?
(Sumber: PPI 19 Bentar-Garut)
Shalat Dhuha adalah salah satu shalat sunah yang
senantiasa dijaga oleh umumnya kaum muslimin. Mereka –berdasarkan dalil-dalil
yang ada- meyakininya sebagai ibadah yang memiliki keutamaan tersendiri.
Tetapi, ada saja memang diantara kaum muslimin yang meragukan kesunahannya,
mereka mengatakan bid’ah, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salafush
shalih. Namun, mayoritas ulama dan fuqaha, dari zaman ke zaman menyatakan
shalat dhuha adalah sunah.
Tentang status Shalat Dhuha, para ulama terbagi
menjadi empat kelompok. Kita akan coba membahasnya satu per satu dan
memperhatikan alasan masing-masing kelompok.
Pertama. Kelompok Yang Menyatakan Sunah Dengan
Kesunahan Yang Terus Menerus
Inilah pendapat mayoritas ulama sejak dahulu.
Mereka berdalil dengan berbagai hadits berikut:
Hadits Pertama:
Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يصبح على كل سلامي من أحدكم صدقة. فكل
تسبيحة صدقة. وكل تحميدة صدقة. وكل تهليلة صدقة. وكل تكبيرة صدقة. وأمر بالمعروف
صدقة. ونهي عن المنكر صدقة. ويجزئ، من ذلك، ركعتان يركعهما من الضحى
“Hendaknya di antara kalian bersedekah untuk setiap
ruas tulang badannya. Maka setiap bacaa tasbih adalah sedekah, setiap bacaan
tahmid adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, setiap bacaan takbir
adalah sedekah, beramar ma’ruf adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah
sedekah. Dan itu semua sudah tercukupi dengan dua rakaat shalat dhuha.” (HR.
Muslim No. 720, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 4677, 19995, Ibnu Khuzaimah
No. 1225)
Hadits Kedua:
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, “Aku mendengar
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
في الإنسان ستون وثلاث مائة مفصل عليه
أن يتصدق عن كل مفصل منه بصدقة قالوا ومن يطيق ذلك يا رسول الله قال النخاعة تراها
في المسجد فتدفنها أو الشيء تنحيه عن الطريق فإن لم تجد فركعتا الضحى
“Dalam tubuh manusia terdapat 360 tulang. Ia
diharuskan bersedekah untk tiap ruas tulang itu.” Para sahabat bertanya: “Siapa
yang mampu melakukan itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dahal yang ada di
masjid lalu ditutupnya dengan tanah, atau menyingkirkan gangguan dari jalan,
atau sekali pun tidak mampu maka shalatlah dua rakaat pada waktu dhuha.” (HR.
Ibnu Hibban No. 1642, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahih At
Targhib wat Tarhib No. 2971. Juga diriwayatkan oleh Abu daud dan Ahmad)
Imam Asy Syaukani menjelaskan tentang dua hadits
ini:
والحديثان يدلان على عظم فضل الضحى
وأكبر موقعها وتأكد مشروعيتها وأن ركعتيها تجزيان عن ثلاثمائة وستين صدقة وما كان
كذلك فهو حقيق بالمواظبة والمداومة .
“Dua hadits ini menunjukkan keutamaan shalat dhuha
yang begitu besar, betapa agung kedudukannya, dan betapa keras pensyariatannya.
Dua rakaat dhuha dapat menyamai 360 kali sedekah, oleh karena itu hendaknya
dilakukan secara terus menerus.” (Nailul Authar, 3/64. Maktabah Ad Da’wah Al
Islamiyah)
Hadits Ketiga:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَا
أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
وَصَلَاةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku telah mewasiatkan aku tiga hal agar aku
jangan tinggalkan sampai mati. 1. Puasa tiga hari setiap bulan. 2. Shalat
dhuha.3. Shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari No. 1124, 1880, Muslim No.
721, Abu Daud No. 1432, Ad Darimi No. 1454, 1745)
Hadits ini dengan jelas menyebutkan shalat dhuha
sebagai sunah yang mesti dijaga dan jangan sampai ditinggalkan hingga wafat.
Dan, kesunahannya disetarakan dengan shalat witir dan puasa ayyamul bidh. Imam
Bukhari memasukkan hadits ini dalam Shahihnya, pada Kitab Abwab Ath Tathawwu’
(Bab Macam-Macam Shalat Tathawwu’/sunah), pada Bab Shalatudh Dhuha fil Hadhar
(Shalat Dhuha Ketika Mukim). Penjudulan dari Imam Bukhari ini sekaligus
bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
hanya sekali melaksanakan shalat dhuha yakni ketika pulang dari safar
(perjalanan jauh), yang dengan ini mereka berpendapat tidak ada shalat dhuha
kecuali karena adanya sebab, di antaranya safar.
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan bahwa
hadits ini merupakan dalil sunahnya shalat dhuha, lalu beliau menambahkan:
وعدم مواظبة النبي صلى الله عليه وسلم
على فعلها لا ينافي استحبابها لأنه حاصل بدلالة القول، وليس من شرط الحكم أن
تتضافر عليه أدلة القول والفعل، لكن ما واظب النبي صلى الله عليه وسلم على فعله
مرجح على ما لم يواظب عليه
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak
merutinkan shalat dhuha, tapi tidak berarti menghilangkan kesunahan shalat
dhuha tersebut, sebab kesimpulan sudah bisa diambil dari ucapannya ini. Dan,
hukum tidaklah disyaratkan mesti terjadinya jalinan antara ucapan dan perbuatan,
tetapi memang perbuatan yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam rutinkan, dia
lebih kuat anjurannya dari yang tidak Beliau rutinkan.” (Fathul Bari, 3/57.
Darul fikr)
Hadits Keempat:
Dari Nu’aim bin Hammar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
قال الله عزوجل: ابن آدم لا تعجزن عن
أربع ركعات في أول النهار أكفك آخره
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Wahai Anak Adam,
jangan sekali-kali kamu malas mengerjakan empat rakaat pada awal siang (shalat
dhuha), nanti akan Aku cukupi kebutuhanmu pada akhirnya (sore hari).” (HR. Abu
Daud No. 1289, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan
Abi Daud No. 1289 dan Shahih At Targhib wat Tarhib No. 673, juga diriwayatkan
oleh Ahmad dari jalur Abu Darda dengan sanad shahih li ghairih, lihat Shahih At
Targhib wat Tarhib No. 672, At Tirmidzi juga dari Abu Darda, dan beliau
mengatakan hasan gharib, dan Syaikh Al Albani menghasankan dalam Shahih At
targhib wat Tarhib No.672 )
Ada juga yang agak mirip dengan hadits di atas,
dari Abu Murrah Ath Thaifi, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
قال الله عز وجل ابن آدم صل لي أربع
ركعات من أول النهار أكفك آخره
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Wahai Anak Adam,
shalatlah untukKu sebanyak empat Rakaat dari awal siang, niscaya akan Aku
cukupi kebutuhanmu pada akhirnya.” (HR. Ahmad, para perawinya dijadikan hujjah
oleh para ulama dalam kitab Ash Shahih. Syaikh Al Albani menyatakan Shahih li
ghairih pada Shahih At Targhib wat Tarhib No. 674)
Imam Abu Daud dan Imam At Tirmidzi memasukkan
hadits ini dalam Bab Shalat Dhuha. Artinya, makna shalat empat rakaat pada awal
siang adalah shalat dhuha, dan sekaligus ini menunjukkan kesunahannya. Berkata
Imam Al ‘Aini:
وحمل العلماء هذه الركعات على صلاة
الضحى
“Dan para ulama memaknai rakaat ini adalah shalat
dhuha.” (Imam Badruddin Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 5/187. Maktabah Ar
Rusyd) Hal ini juga dikuatkan oleh Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim, setelah
beliau mengurai berbagai pendapat tentang makna ‘empat rakaat’. (Lihat ‘Aunul
Ma’bud, 4/119. Cet. 2, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Ada pun Imam Ibnu Taimiyah
memaknainya sebagai shalat subuh dan shalat sunahnya, sebagaimana yang didengar
oleh Imam Ibnul Qayyim.. (Zaadul Ma’ad, 1/360. Cet. 3, 1986M. Muasasah Ar
Risalah, Beirut)
Hadits Kelima:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم في
سفر صلى سبحة الضحى ثماني ركعات فلما انصرف قال: (إني صليت صلاة رغبة ورهبة، سألت
ربي ثلاثا فأعطاني اثنتين ومنعني واحدة: سألته ألا يبتلي أمتي بالسنين ففعل،
وسألته ألا يظهر عليهم عدوهم ففعل، وسألته ألا يلبسهم شيعا فأبى علي
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam saat bepergian, beliau shalat dhuha delapan rakaat. Setelah selesai
Beliau bersabda: Tadi saya shalat dengan penuh harapan dan kecemasan, saya
mohon kepada Tuhanku tiga hal, dan diberikan dua hal dan ditolakNya yang satu.
Saya minta agar umatku tidak ditimpa bencana paceklik dan ini dikabulkan, dan
saya meminta agar umatku jangan dikalahkan oleh musuh-musuhnya dan ini
dikabulkan, dan saya meminta agar mereka jangan terpecah belah, dan ini
ditolak.” (HR. Ibnu Majah No. 3951, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam
Shahihul Jami’ No. 2466. Juga diriwayatkan oleh Ahmad, An Nasa’i, Al Hakim, dan
Ibnu Khuzaimah. Mereka berdua (Al Hakim dan Ibnu Khuzaimah) menshahihkannya.)
Hadits Keenam:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لا يحافظ على صلاة الضحى إلا أواب قال
: وهي صلاة الأوابين
“Tidaklah yang menjaga shalat dhuha melainkan orang
yang Awwab,” Dia bersabda: “Itulah shalat Awwabin.” (HR. Al Hakim, Ibnu
Khuzaimah, dan Ath Thabarani. Syaikh Al Albani menghasankan dalam Shahihul
Jami’ No. 7628)
Hadits ini menunjukkan pujian bagi orang yang
menjaga shalat dhuha, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menamakannya
dengan sebutan Al Awwabin (Orang-orang yang kembali).
Dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ
الْفِصَالُ
“Shalat Awwabin (orang yang suka taubat) waktunya
adalah ketika unta merasakan panas.” (HR. Muslim No. 748, Ad Darimi No. 1457,
Ibnu Hibban No. 2539)
Maksud tarmadhul fishal (ketika Unta merasakan
panas) adalah ketika dhuha. Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
قَالَ أَصْحَابنَا : هُوَ أَفْضَل
وَقْت صَلَاة الضُّحَى ، وَإِنْ كَانَتْ تَجُوز مِنْ طُلُوع الشَّمْس إِلَى
الزَّوَال .
“Sahabat-sahabat kami (syafi’iyah) telah berkata:
‘Itu adalah waktu yang paling utama untuk shalat dhuha, dan boleh saja
melakukannya dari terbitnya matahari hingga tergelincirnya matahari.” (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/88. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Demikianlah sebagian saja hadits-hadits yang
menjadi dasar sunahnya shalat dhuha dan keutamannya. Dengan kesunahan yang
dapat dilaksanakan secara terus menerus. Ini menjadi madzhab jumhur (mayoritas)
ulama Islam.
Kedua. Kelompok Yang Menyatakan Sunah Tetapi
Sesekali Saja
Kelompok adalah kelompok sebagian sahabat seperti
Aisyah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan tabi’in seperti Said bin
jubeir, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Berikut ini adalah
riwayat-riwayat yang mendasari pendapat mereka:
Hadits Pertama:
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان صلى الله عليه وسلم يصلي الضحى حتى
نقول لا يدعها، ويدعها حتى نقول لا يصليها
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam melaksanakan shalat dhuha sampai kami mengatakan bahwa Beliau tidak
pernah meninggalkannya, dan Beliau meninggalkannya sampai kami mengatakan bahwa
Beliau tidak pernah mengerjakannya.” (HR. At Tirmidzi, beliau menghasankannya.
Namun Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam Misykah Al Mashabih No. 1320)
Hadits Kedua:
Dari Abdullah bin Syaqiq Radhiallahu ‘Anhu,
katanya: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah:
هل كان رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم
يصلِّي الضحى؟ فقالت: لا، إلا أن يجيء من مغيبه
“Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
shalat dhuha?” ‘Dia menjawab: “Tidak, kecuali sepulangnya dari bepergian.” (HR.
Muslim No. 717, Abu Daud No. 1292, Ibnu Hibban No. 2527, Al Baihaqi, As Sunan
Al Kubra No. 4691, Ibnu Khuzaimah No. 2132)
Hadits ini menjadi dalil yang sangat jelas, sebab
‘Aisyah adalah orang terdekatnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam sangat jarang shalat dhuha, sampai-sampai dikatakan: “Tidak, kecuali
sepulang dari bepergian.”
Selain dua hadits ini, banyak riwayat dari para
sahabat yang tidak menyukai merutinkan shalat dhuha dan menganggapnya perbuatan
yang membebankan diri sendiri padahal Allah Ta’ala tidak membebaninya.
Imam Abu Ja’far Ath Thabari Rahimahullah berkata:
كذا ذكر من كان يفعل ذلك مِن السلف
“Demikianlah yang disebutkan dari kaum salaf yang
melakukan shalat dhuha.” (Zaadul Ma’ad, 1/353)
Detilnya, berikut keterangan Imam Ibnul Qayyim
Rahimahullah:
وروى شعبة، عن حبيب بن الشهيد، عن
عكرمة قال: كان ابنُ عباس يُصليها يوماً، ويدعها عشرة أيام يعني صلاةَ الضحى وروى
شعبة، عن عبد اللّه بن دينار، عن ابن عمر، أنه كان لا يُصلي الضحى. فإذا أتى مسجد
قُباء، صلَّى، وكان يأتيه كلَّ سبت. وروى سفيان، عن منصور، قال كانوا يكرهون أن
يحافظوا عليها كالمكتوبة، ويُصلون ويدعون يعني صلاة الضحى. وعن سعيد بن جبير: إني
لأدع صلاة الضحى وأنا أشتهيها، مخافة أن أراها حتماً علي وقال مسروق: كنا نقرأ في
المسجد، فنبقى بعد قيام ابن مسعود، ثم نقوم، فنصلي الضحى، فبلغ ابن مسعود ذلك
فقال: لِم تُحمِّلون عبادَ الله ما لم يُحمِّلهم اللَّه؟! إن كنتم لا بُدَّ
فاعلين، ففي بيوتكم وكان أبو مِجْلَز يصلي الضحى في منزله.قال هؤلاء: وهذا أولى
لئلا يتوهم متوهمٌ وجوبَها بالمحافظة عليها، أو كونَها سنةَ راتبةً ولهذا قالت
عائشة: لو نُشِرَ لي أَبَواي ما تَرَكتها. فإنها كانت تُصليها في البيت حتى لا
يراها الناس.
Syu’bah meriwayatkan dari Habib bin Asy Syahid dari
‘Ikrimah, katanya: “Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu melaksanakan shalat dhuha di
suatu hari dan meninggalkannya selama sepuluh hari.” Syu’bah juga meriwayatkan
dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Beliau tidak
pernah melakukan shalat dhuha, tetapi bila sampai ke Masjid Quba, barulah dia
melakukannya. Dia mendatangi Masjid Quba setiap Sabtu.
Sufyan meriwayatkan dari Al Manshur,
katanya:”Mereka tidak suka melakukannya secara rutin seperti shalat fardhu.
Mereka melakukan dan juga meninggalkan.” Said bin Jubeir berkata: “Sesungguhnya
aku meninggalkan shalat dhuha, betapa pun aku ingin melaksanakannya, karena
khawatir dianggap sebagai kewajiban bagiku.” Masrur mengatakan: “Kami belajar
Al Quran di Masjid. Setelah Ibnu MAs’ud berdiri masih ada waktu tersisa,
kemudian kami melakukan shalat dhuha. Hal ini disampaikan kepada Ibnu Mas’ud
Radhiallahu ‘Anhu. Beliau berkata: “Wahai hamba Allah, kenapa kalian
membebankan apa-apa yang Allah tidak bebankan? Tapi jika kalian tetap ingin
melaksanakannya, lakukanlah dirumah kalian. Diriwayatkan bahwa Abu Mijliz
menjalankan shalat dhuha di rumahnya.
Mereka berkata: “Itu lebih baik agar orang-orang
tidak menyangka bahwa itu adalah wajib karena terus dilakukan atau nanti
disangka sebagai sunah rawatib. Maka dari itu ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha,
mengatakan: “ Andaikan itu ditunjukkan oleh kedua orangtuaku, pastilah aku
tidak akan meninggalkannya. Maka ‘Aisyah pun menjalankannya di rumah sehingga
manusia tidak melihatnya. (Zaadul Ma’ad, 1/353-354)
Jika kita melihat alasan kelompok ini yang paling
esensi adalah ketakutan bahwa shalat dhuha akan dianggap wajib. Maka kalau
demikian, jika alasan ini sudah tidak ada, dan umumnya manusia sudah mengetahui
bahwa memang shalat dhuha tidak wajib, maka tidak mengapa bagi yang mau
merutinkannya. Sebab, -pada kasus lain- walau pun Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam meninggalkan tarawih berjamaah di masjid pada malam keempat
karena khawatir manusia menyangka itu wajib, tetaplah ulama kaum muslimin sejak
masa sahabat memahami bahwa tarawih berjamaah di masjid adalah sunah, dan
kesunahannya tidak sesekali saja, tetapi terus-menerus selama bulan malam
Ramadhan. Wallahu A’lam
Ketiga: Kelompok Yang Mengatakan Shalat Dhuha
Adalah Sunah Jika Ada Sebab Saja
Mereka beralasan bahwa shalat dhuha yang dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena ada sebab, yakni
kedatangan Beliau ketika Fathul Makkah, Safar, sebagai ibadah badal
(pengganti), dan berkunjung ke rumah sahabatnya. Di luar itu Beliau tidak
pernah melakukannya. Kalau pun itu dilakukan di waktu dhuha, bukan berarti itu
adalah shalat dhuha, tetapi shalat al fath (shalat penaklukan kota) yang
kebetulan dilakukan di waktu dhuha. Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalid bin
Walid ketika menaklukan kota Hierat, beliau melakukan shalat al fath sebanyak
delapan rakaat tanpa salam. Dan Ummu Hani menyebutnya: “Itulah shalat dhuha.”
Hal ini termasuk diterangkan diantaranya oleh Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al
‘Azhim Abadi dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud, , dan juga Imam Ibnul Qayyim dalam
Zaadul Ma’ad.
Hadits ‘Aisyah yang menyebut bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidaklah shalat dhuha kecuali sepulang dari bepergian
membuktikan bahwa shalat dhuha terjadi karena sebab. Artinya, jika tanpa sebab,
maka tidak ada shalat dhuha.
Ini pun diikuti oleh para sahabat. Ibnu Abi Aufa
pernah shalat dhuha dua rakaat ketika mendapat kabar kematian Abu Jahal. Jadi,
yang diingkari oleh ‘Aisyah adalah bukan semata-mata shalat dhuhanya, melainkan
jika shalat dhuha dilaksanakan tanpa sebab seperti yang biasa dilakukan oleh
manusia kebanyakan. Bahkan shalat dhuha merupakan pengganti (badal) bagi
siapa-siapa saja yang jarang shalat malam, itulah sebabnya Rasulullah
Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam mewasiatkan Abu Hurairah agar tidak
meninggalkannya, shalat witir, shalat dhuha, dan puasa ayyamul bidh, karena Abu
Hurairah jarang shalat malam lantaran kesibukannya terhadap hadits Nabi
Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ibnu Qayyim
Al Jauziyah. Beliau mengatakan:
ومن تأمل الأحاديث المرفوعة وآثارَ
الصحابة، وجدها لا تدل إلا على هذا القول، وأما أحاديثُ الترغيب فيها، والوصيةُ
بها، فالصحيح منها كحديث أبي هريرة وأبي ذر لايدل على أنها سنة راتبة لكل أحد،
وإنما أوصى أبا هريرة بذلك، لأنه قد روي أن أبا هريرة كان يختار درس الحديث بالليل
على الصلاة، فأمره بالضحى بدلاً من قيام الليل، ولهذا أمره ألا ينام حتى يوتر، ولم
يأمر بذلك أبا بكر وعمر وسائر الصحابة.
Bagi siapa yang mau merenungkan hadits-hadits
marfu’ (sampai kepada Rasulullah) dan atsar para sahabat, niscaya tidak akan
menemukan pandangan lain kecuali pada pendapat ini. Ada pun hadits-hadits yang
berisi anjuran untuk melaksanakannya dan wasiat untuk menjalankannya, itu
adalah shahih seperti hadits Abu Hurairah dan Abu Dzar, tetapi tidak
menunjukkan bahwa shalat dhuha adalah sunah yang dirutinkan bagi setiap orang.
Itu hanyalah wasiat bagi Abu Hurairah untuk melaksanakannya, sebab telah
diriwayatkan bahwa Abu Hurairah pada malam hari lebih memilih mengkaji hadits
dibanding shalat, maka beliau diperintahkan untuk shalat dhuha sebagai
pengganti shalat malam. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam memerintahkannya agar jangan tidur dulu sebelum dia menunaikan shalat
witir, dan hal ini tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
perintahkan kepada Abu Bakar, Umar, dan sahabat lainnya.” (Zaadul Ma’ad, 1/357)
Bagus sekali keterangan dari ‘Alim Rabbani, Al
‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah. Namun, telah diketahui bersama, bahwa Imam
Bukhari memasukkan hadits Abu Hurairah tersebut dalam judul dalam kitab
Shahihnya, Bab Shalatudh Dhuha fil Hadhar (Shalat Dhuha Ketika Mukim). Artinya,
dalam pandangan Imam Bukhari, shalat dhuha adalah sunah walau sedang mukim,
tidak safar, tidak dalam keadaan al fath, tidak pula karena adanya sebab lain.
Oleh karena itu Imam Al Khathabi mengatakan
–sebagaimana yang dikutip oleh Imam Abu Thayyib- ketika mengomentari hadits
‘Aisyah:
"فقالت لا إلا أن يجيء
من مغيبه" : بفتح الميم وكسر الغين أي من سفره قال الخطابي: أخذ قوم بحديث
عائشة فلم يروا صلاة الضحى وقالوا: إن الصلاة التي صلاها رسول الله صلى الله عليه
وسلم
يوم الفتح هي سنة الفتح. قال: وهذا
التأول لا يدفع صلاة الضحى لتواتر الروايات بها عن النبي صلى الله عليه وسلم.
“’Aisyah berkata: Tidak, kecuali sepulangnya dari
perjalanan.” Berkata Al Khathabi: Segolongan manusia berdalil dengan hadits
‘Aisyah ini, maka mereka tidaklah memandangnya sebagai shalat dhuha. Mereka
mengatakan: Sesungguhnya shalat yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pada hari penaklukan kota Mekkah adalah shalat sunah al fath
(penaklukan). Dia (Al Khathabi) berkata: Takwil ini tidaklah menggugurkan
shalat dhuha karena mutawatirnya riwayat tentang shalat dhuha dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (‘Aunul Ma’bud, 4/121)
Jadi, walau pun shalat itu dinamakan shalat al
fath, karena memang peristiwanya demikian, tidaklah itu menggugurkan sekian
banyak hadits tentang anjuran melaksanakan shalat dhuha.
Keempat: Kelompok Yang Mengingkari Shalat Dhuha
Bahkan Membid’ahkannya
Imam Abu Umar Ibnu Abdil Bar menceritakan dalam At
Tamhid ketika mengomentari hadits “Bahwa Nabi melakukan shalat pada waktu dhuha
lalu orang-orang mengikutinya dibelakangnya,” sebagai berikut, :
والدليل على أنه لا يعرف في هذا الحديث
ذكر صلاة الضحى إنكار ابن شهاب لصلاة الضحى فقد كان الزهري يفتي بحديث عائشة هذا
ويقول أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يصل الضحى قط قال وإنما كان أصحاب رسول
الله صلى الله عليه وسلم يصلونها بالهواجر أو قال بالهجير ولم يكن عبد الرحمن بن
عوف وعبد الله بن مسعود وعبد الله بن عمر يصلون الضحى ولا يعرفونها
“Dalil yang ada pada hadits ini tidaklah diketahui
disebutkan tentang shalat dhuha. Ibnu Syihab mengingkari makna shalat dhuha
pada hadits ini. Az Zuhri telah berfatwa dengan hadits ‘Aisyah ini dan
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah shalat
dhuha sekali pun. Dia (Az Zuhri) mengatakan bahwa para sahabat Rasulullah
melakukan shalat tersebut pada berbagai hijrah atau pada sekali hijrah. Dan
tidak pernah Abdurrahman bin ‘Auf, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Umar
melaksanakan shalat dhuha, dan mereka tidak mengenalnya.” (At Tamhid Lima Fil
Muwaththa’ Minal Ma’ani wal Asanid, 8/143. Muasasah Al Qurthubah)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menyebutkan –saya
ringkas- dari Imam Bukhari bahwa Ibnu Umar, Umar, dan Abu Bakar tidak pernah
melakukan shalat Dhuha. Ketika ditanya bagaimana dengan Rasulullah? Dijawab:
“Saya tidak mengecualikannya.” Waki’ berkata, telah berkata kepadaku Sufyan Ats
Tsauri, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dia berkata:
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan
shalat dhuha kecuali satu hari saja.”
Ali bin Al Madini berkata: berkata kepadaku Muadz
bin Muadz, berkata kepadaku Syu’bah, berkata kepadaku Fudhail bin Fadhalah,
dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dia berkata: Abu Bakrah melihat manusia
melakukan shalat dhuha, maka beliau berkata: “Kalian menjalankan shalat yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan umumnya para
sahabatnya.”
Dalam Al Muwaththa’ disebutkan: dari Malik, dari
Ibnu Syihab, dari ‘Urwah, dari ’Aisyah dia berkata: “Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam belum pernah melakukan shalat dhuha sekali pun, dan saya
tidak melaksanakannya, jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
meninggalkan amal dan suka dengan amal tersebut, dan manusia melaksanakannya
maka dia khawatir itu akan diwajibkan atas mereka.”
Abul Hasan Ali bin Bathal mengatakan; “Segolongan
kaum salaf berdalil dengan hadits ‘Aisyah ini, mereka tidak memandangnya
sebagai shalat dhuha. Segolongan kaum mengatakan: bid’ah.” Diriwayatkan dari
Asy Syaibi, dari Qais bin ‘Ubaid, dia berkata: “Aku bersama Ibnu Mas’ud selama
setahun lamanya dan aku tidak melihatnya shalat dhuha.
Diriwayatkan dari Syu’bah, dari Sa’ad bin Ibrahim,
dari ayahnya, bahwa Abdurrahman bin ‘Auf tidak pernah shalat dhuha. Dari
Mujahid, dia berkata: Aku masuk ke masjid bersama ‘Urwah bin Az Zubeir, saat
itu Ibnu Umar sedang duduk di samping kamar ‘Aisyah. Ketika manusia
melaksanakan shalat dhuha, kami bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat
mereka. Beliau menjawab: bid’ah! Dan beliau berkata sekali lagi:
“Sebaik-baiknya bid’ah!”
Asy Sya’bi mengatakan: Aku mendengar Ibnu Umar
berkata: “Tidak ada bid’ah yang lebih baik dilakukan oleh kaum muslimin
dibandingkan shalat dhuha.” Anas bin Malik ditanya tentang shalat dhuha, beliau
menjawab: “Shalat itu ada lima.” (Zaadul Ma’ad, 1/352-353)
Pandangan kelompok ini perlu ditinjau dari beberapa
hal.
Pertama. Apa yang dijadikan dalil oleh mereka yakni
hadits ‘Aisyah yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya
sekali saja melaksanakan shalat dhuha selama hidupnya, merupakan pernyataan
yang berasal dari apa yang dilihatnya, belum tentu sesuai dengan apa yang
terjadi ketika ‘Aisyah tidak melihatnya. Sebab, dalam riwayat beberapa sahabat
lain disebutkan bahwa Nabi pernah shalat dhuha dua rakaat, empat rakaat,
delapan rakaat, bahkan dua belas rakaat. Perbedaan jumlah rakaat ini
menunjukkan bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah melakukannya
hanya sekali.
Bahkan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha pernah sendiri
ditanya:
أ كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي
الضحى؟ فقالت نعم أربع ركعات ويزيد ما شاء الله
“Apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan
shalat dhuha?” Beliau menjawab: “Ya, empat rakaat dan ditambahnya menurut
kehendak Allah.” (HR. Ibnu Majah No. 1381, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1381. Hadits ini juga diriwayatkan
Muslim dan Ahmad)
Maka, bagaimana menjadi bid’ah, kalau nabi mau
menambahkan jumlah rakaat pada waktu lain sesuai kehendak Allah?
Sedangkan Ummu Hani’ Radhiallahu ‘Anha mengatakan:
أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى سبحة
الضحى ثماني ركعات يسلم من كل ركعتين
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan
shalat dhuha sebanyak delapan rakaat, dan dia salam setiap dua rakaat.” (HR.
Abu Daud No. 1290, Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan sanad hadits ini shahih.
Fiqhus Sunnah, 1/211. Darul Kitab Al ‘Arabi)
‘Aisyah melihat nabi shalat dhuha empat rakaat dan
Ummu Hani’ melihat nabi shalat dhuha delapan rakaat, apakah ini bermakna
dilakukannya shalat dhuha oleh nabi hanya sekali seumur hidup??
Kedua. Sekalipun benar Beliau hanya melaksanakan
shalat dhuha sekali saja, maka benarkah perbuatan yang tadinya dilakukan lalu
setelah itu ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantas
dia menjadi bid’ah? Jika karena kekhawatiran hal itu nantinya dianggap wajib,
maka tentunya ini sama dengan sunahnya tarawih berjamaah di malam Ramadhan,
yang nabi sendiri hanya melakukannya tiga malam, lalu ditinggalkannya. Namun,
kesunahan tarawih tetap berlaku.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berencena puasa
tasu'a (9 Muharam), Beliau tidak sempat melaksanakannya lantaran ajalnya keburu
menjemputnya. Namun demkikian, kesunahan puasa tasu'a tetap berlaku. Walau
Beliau sendiri belum pernah melaksanakan.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam enggan makan
Biawak sebagaimana Khalid bin Walid, tetapi tidak berarti Biawak haram.
Jadi, jika perbuatan yang nabi tinggalkan saja
belum tentu bermakna perbuatan itu terhukum haram atau bid’ah, tentunya apalagi
jika yang meninggalkan adalah manusia biasa seperti para sahabat, Abu Bakar,
Umar, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Abdurrahman bin ‘Auf, dan lainnya.
Ketiga. Sekali pun bid’ah, maka ucapan Ibnu Umar
Radhiallahu ‘Anhuma tentang shalat dhuha: Sebaik-baiknya bid’ah! Itu tidak
berarti bid’ah yang sesat. Hal ini sama dengan ucapan ayahnya sendiri, Umar bin
Al Khathab, ketika mengomentari jamaah tarawih yang dianjurkannya pada malam
Ramadhan zamannya: Ni’matul Bid’ah Hadzihi (sebaik-baiknya bid’ah adalah ini!).
Ucapan Umar ini tidak bermakna shalat tarawih adalah bid’ah sesat, melainkan
bid’ah secara bahasanya saja.
Keempat. Imam An Nawawi mengomentari sikap Ibnu
Umar ini, bisa jadi belum sampai kepada Ibnu Umar berbagai riwayat tentang
anjuran shalat dhuha, sebab orang akan bersikap sesuai dengan apa yang dilihat
dan didengarkannya saja. Maka, wajarlah jika ia bersikap demikian.
Maka dari itu Imam Ibnu Jarir Ath Thabari
–sebagaiana dikutip Imam Ibnul Qayyim- mengatakan – ketika menjelaskan
beragamnya jumlah Rakaat shalat Dhuha – sebagai berikut :
وليس في هذه الأحاديث حديثّ يدفع
صاحبه، وذلك أن من حكى أنه صلى الضحى أربعاً جائز أن يكون رآه في حال فعلِه ذلك،
ورآه غيرُه في حالٍ أخرى صلى ركعتين، ورآه آخرُ في حال أخرى صلاها ثمانياً، وسمعه
آخر يحثّ على أن يُصلي ستاً، وآخر يحثُّ على أن يُصلي ركعتين، وآخر على عشر، وآخر
على ثنتي عشرة، فأخبر كلُّ واحد منهم عما رأى وسمع. قال: والدليل على صحة قولنا،
ما روِيَ عن زيد بن أسلم قال. سمعتُ عبد اللّه بن عمر يقول لأبي ذر: أوصني يا عم،
قال: سألتُ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم كما سألتني، فقال؟ "مَنْ صَلَّى
الضّحَى رَكْعَتَيْنِ، لَمْ يكْتَبْ مِن الغَافِلِينَ، وَمَنْ صَلًى أربَعاً،
كتِبَ مِنَ العَابِدين، ومَن صَلَّى سِتّاً، لَمْ يَلْحَقْةُ ذَلِكَ اليَوْمَ
ذَنْبٌ، وَمَنْ صَلَّى ثَمانِياَ، كُتِبَ مِنَ القَانِتِينَ، ومَنْ صَلَّى عَشْراً
بَنى اللَّه لَهُ بَيْتا في الجَنَّة".
وقال مجاهد: صلَّى رسولُ اللّه صلى
الله عليه وسلم يوماً الضحى ركعتين، ثم يوماً أربعاً، ثم يوماً سِتّاً، ثم يوماً
ثمانياً ثم تركَ. فأبان هذا الخبر عن صحة
ما قلنا من احتمال خبر كل مُخْبِرٍ ممن
تقدم أن يكون إخبارُه لِما أخبر عنه في صلاة الضُّحى على قدر ما شاهده وعاينه.
والصواب: إذا كان الأمر كذلك: أن
يُصلّيها من أراد على ما شاء من العدد. وقد روِيَ هذا عن قوم من السلف حدثنا ابنُ
حميد، حدثنا جرير، عن إبراهيم، سأل رجل الأسود، كم أصلي الضحى؟ قال: كم شئت.
“Tentang hadits-hadits ini tidak ada yang mesti
ditolak riwayatnya, begitu pula orang yang meriwayatkan bahwa Rasulullah
melaksanakan shalat dhuha sebanyak empat rakaat yang memang bisa jadi dia
melihatnya seperti itu. Orang lain melihatnya pada kesempatan yang lain bahwa
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakannya dua rakaat. Orang lain
lagi juga melihat pada kesempaan yang lain pula bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Salam melakukannya dengan delapan rakaat. Sebagian pihak mendengar Beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan dengan enam rakaat, pihak lain
menganjurkan dua rakaat, yang lain sepuluh rakaat, dan yang lainnya
menganjurkan dua belas rakaat. Semua itu berasal dari apa yang mereka lihat dan
dengar.” Dia (Ibnu Jarir) melanjutkan: “Dalil dari kebenaran pendapat kami ini
adalah sebuah hadits yang menyebutkan:
Dari Zaid bin Aslam, dia berkata, “Aku melihat
Abdullah bin Umar berkata kepada Abu Dzar: “Berwasiatlah kepadaku wahai
pamanku!” Abu Dzar menjawab, “Aku pernah meminta kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam seperti apa yang kamu minta kepadaku.” Lalu dia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Barangsiapa yang menunaikan shalat dhuha sebanyak
dua rakaat, dia tidak ditulis termasuk golongan orang-orang yang lalai.
Barangsiapa yang menunaikan empat rakaat dia dicatat termasuk golongan ahli
ibadah. Barangsiapa menunaikan enam rakaat, maka dia tidak menemukan dosa pada
hari itu. Barangsiapa yang menunaikan delapan rakaat, dia ditulis sebagai
orang-orang yang tunduk kepada Allah. Dan, barangsiapa yang menunaikannya
sepuluh rakaat, maka Allah akan membangunkan sebuah rumah baginya di surga.
Mujahid berkata: “Suatu hari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat dhuha dua rakaat, di hari lain empat
rakaat, hari berikutnya enam rakaat. Hari berikutnya lagi delapan rakaat,
kemudian tidak melakukannya.” Riwayat ini menjadi bukti kebenaran pendapat
kami, bahwa setiap perawi menceritakan sesuai apa yang dilihatnya.
Yang benar, jika persoalannya seperti itu, maka
setiap orang boleh melaksanakan shalat dhuha dengan jumlah rakaat yang
dikehendakinya. Hal ini pernah diriwayatkan dari suatu kelompok ulama salaf.
Diceritakan kepada kami dari Ibnu Humaid, diceritakan oleh kami dari Jarir,
dari Ibrahim, bahwa Al Aswad bertanya kepadanya: “Berapa rakaat yang aku
lakukan dalam shalat dhuha?” Dia menjawab: “Terserah kamu.” (Imam Ibnul Qayyim,
Zaadul Ma’ad, 1/352. Muasasah Ar Risalah)
Jadi, paling sedikit jumlah rakaat shalat dhuha
adalah dua rakaat, dan paling banyak dua belas rakaat sesuai dengan yang
disabdakannya. Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri
paling banyak melakukan delapan rakaat. Sebagian ulama mengatakan tidak ada
batasannya.
Berikut ini kami sampaikan keterangan tambahan dari
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah dalam Fiqhus Sunnahnya:
عدد ركعاتها: أقل ركعاتها اثنتان كما
تقدم في حديث أبي ذر وأكثر ما ثبت من فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم ثماني
ركعات، وأكثر ما ثبت من قوله اثنتا عشرة ركعة.
وقد ذهب قوم - منهم أبو جعفر الطبري
وبه جزم المليمي والروياني من الشافعية - إلى أنه لاحد لاكثرها.
قال العراقي في شرح الترمذي: لم أر عن
أحد من الصحابة والتابعين أنه حصرها في اثنتي عشرة ركعة. وكذا قال السيوطي.
وأخرج سعيد بن منصور عن الحسن أنه سئل:
هل كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلونها؟ فقال: نعم..كان منهم من يصلي
ركعتين، ومنهم من يصلي أربعا، ومنهم من يمد إلى نصف النهار.
وعن إبراهيم النخعي أن رجلا سأل الاسود
بن يزيد: كم أصلي الضحى؟ قال: كما شئت.
وعن أم هانئ أن النبي صلى الله عليه
وسلم صلى سبحة الضحى ثماني ركعات يسلم من كل ركعتين.
رواه أبو داود بإسناد صحيح.
وعن عائشة رضي الله عنها قالت: (كان
النبي صلى الله عليه وسلم يصلي الضحى أربع ركعات ويزيد ما شاء الله) رواه أحمد
ومسلم وابن ماجه.
“Jumlah rakaa shalat dhuha paling sedikit adalah
dua rakaat, sebagaimana keterang hadits Abu Dzar sebelumnya, dan paling
banyakyang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah
delapan rakaat, dan paling banyak menurut apa yang dikatakannya adalah dua
belas rakaat.
Sekelompok orang berpendapat –diantaranya Abu
Ja’far Ath Thabari, juga Al Hulaimi dan Ar Ruyani dari kalangan Syafi’iyah-
bahwa banyaknya jumlah rakaat tidak ada batasannya. Al ‘Iraqi berkata dalam
Syarh At Tirmidzi: “Saya belum melihat adanya pembatasan jumlah rakaat dari
kalangan shahabat dan tabi’in yang hanya sampai dua belas rakaat saja.” Ini
juga pendapat As Suyuthi.
Said bin Manshur meriwayatkan dari Al Hasan, bahwa
beliau ditanya: Apakah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan
shalat dhuha? Dia menjawab: “Ya, diantara mereka ada yang shalat dua belas
rakaat, ada yang empat, dan ada pula yang mengerjakannya sampai tengah hari.”
Dari Ibrahim An Nakha’i, bahwa ada seorang yang
bertanya kepada Al Aswad bin Yazid: “Berapa rakaatkah saya mesti shalat dhuha?
Dia menjawab: “Sesuka hatimu.”
Dari Ummu Hani’, Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam melakukan shalat dhuha sebanyak delapan rakaat, dan dia salam setiap dua
rakaat. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan isnadnya shahih.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha empat rakaat dan dia
menambahkannya sesuai yang Allah kehendaki.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim,
dan Ibnu Majah. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/210-211. Darul Kitab Al
‘Arabi)
Demikianlah pembahasan tentang jumlah rakaat dhuha,
dan sekaligus menunjukkan bahwa beragamnya riwayat jumlah rakaat ini sebagai
bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak hanya sekali
melakukannya, dan sebagai sanggahan bagi yang membid’ahkannya.
Ada pun waktu pelakasanaannya adalah setelah
terbitnya matahari dan berakhir sampai tergelincirnya matahari. Namun, yang
paling utama adalah melakukan bukan di awalnya tetapi ketika mulai panas.
Sebagaimana hadits dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ
الْفِصَالُ
“Shalat Awwabin (orang yang suka taubat) waktunya
adalah ketika unta merasakan panas.” (HR. Muslim No. 748, Ad Darimi No. 1457,
Ibnu Hibban No. 2539)
Maksud tarmadhul fishal (ketika Unta merasakan
panas) adalah ketika dhuha. Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
قَالَ أَصْحَابنَا : هُوَ أَفْضَل
وَقْت صَلَاة الضُّحَى ، وَإِنْ كَانَتْ تَجُوز مِنْ طُلُوع الشَّمْس إِلَى
الزَّوَال .
“Sahabat-sahabat kami (syafi’iyah) telah berkata:
‘Itu adalah waktu yang paling utama untuk shalat dhuha, dan boleh saja
melakukannya dari terbitnya matahari hingga tergelincirnya matahari.” (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/88. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Demikian pembahasan tentang kesunahan shalat dhuha
dan sedikit penjelasan tambahan tentang waktu pelaksanaannya. Semoga
bermanfaat.
Wallahu A'lam